Sebuah jembatan yang tercatat sebagai cagar budaya di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar, berlokasi di Jl. A. Yani, kelurahan Ibuh, Payakumbuh Utara, Payakumbuh, Sumatera Barat. Dibangun pada tahun 1818 dan memiliki panjang 40 meter dengan menggunakan arsitektur kuno. Jembatan yang menghubungkan Pasar Payakumbuh dengan Labuah Basilang dan nagari Aia Tabik ini ternyata memiliki sejarah yang berkaitan erat dengan masa penjajahan Belanda.
Dibalik
keindahan Jembatan Ratapan Ibu, tersimpan cerita pilu tentang perjuangan para
pemuda ranah Minang dalam merebut kemerdekaan. Bagaimana tidak, jembatan ini
merupakan tempat eksekusi para pejuang kemerdekaan oleh tentara Belanda pada
zaman penjajahan. Para pejuang kemerdekaan Indonesia yang tertangkap digiring
menuju jembatan tersebut, lalu disuruh berbaris di bibir jembatan. Setelah itu,
mereka dieksekusi dengan tembakan senjata api, sehingga tubuh mereka langsung
jatuh ke Batang Agam dan dihanyutkan arus deras. Masyarakat, terutama kaum
wanita, setiap menyaksikan eksekusi itu hanya bisa menangis melihat para
pejuang bangsa ditembaki, lalu mati dan jasadnya jatuh ke sungai yang kemudian
hanyut terbawa arus sungai.
Untuk mengenang kekejaman Belanda dan perjuangan para pejuang yang di bantai di jembatan ini, maka dibangun monumen ratapan ibu. Sebuah patung wanita paruh baya mencerminkan seorang ibu yang mengenakan pakaian khas Minang dan menunjuk kearah jembatan seolah-olah sedang menangis menyaksikan kekejaman tentara Belanda di area jembatan tersebut.
Kini, kawasan jembatan
Ratapan Ibu sudah mulai dikembangkan menjadi Ruang Terbuka Hijau yang
menjadikannya sebagai salah satu tempat bersantai favorit di pagi atau sore
hari. Udara segar yang terasa disini dijamin mampu menghilangkan kepenatan yang
kita rasakan, sangat cocok untuk tempat menghilangkan stress dari keramaian
kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar